My Bodyguards

Hola! Akhirnya aq muncul dengan fanfics q. hoho. Sebenernya kemaren itu udah jadi, tinggal nambahin dikit doang. Tapitapi, gara2 kemaren2 gw sempet sakit dan tugas2 numpuk (sekarang juga masih banyak tugas sih), jd fanfics nya sempet terlantar bentar. hoho. Semoga fanfics ini gak aneh. Selamat membaca~ ^^
------------------------------------------
Chapter 1

Kring…. Kring

Reflek tanganku menyentuh jam alarm yang berada tepat disamping kanan kepalaku. Aku menggeliat dan meregangkan otot-otot tangan dan kakiku. Setelah berhasil mengumpulkan nyawa dalam beberapa detik, aku bangun dan kemudian mengambil gelas di meja dan menghabiskan air di dalamnya dalam sekejap.

Setelah menghabiskan isi gelas tersebut, aku segera beranjak ke kamar mandi, berisap-siap untuk berangkat ke sekolah.

***
Mobil yang membawaku ke sekolah berjalan dengan kecepatan sedang. Aku melemparkan pandangan keluar jendela, memperhatikan berbagai kendaraan yang melaju di jalan.

==
flashback==
”Appa rasa, kamu membutuhkan bodyguard.” Ujar ayahku di sela-sela sarapannya.

Apa? Bodyguard? Aku menghentikan makanku seketika. Nafsu makanku mendadak hilang, padahal baru satu suap makanan yang masuk ke perutku. Appa selalu tahu bagaimana cara membuat suasana menjadi buruk.

“Bodyguard? Buat apa? Aku kan bukan siapa-siapa. Aku juga bukan anak perdana menteri yang perlu dikawal kemana-mana.” Bantahku.

“Sayang,” panggil ayahku. Aku melemparkan pandangan setiap kali ayahku memanggilku begitu. Aku merasa jijik dengan panggilan itu.

Ayahku menghela nafas, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Memang, kamu bukan anak perdana menteri. Tapi tetap saja kamu perlu dikawal. Ada banyak saingan appa yang tidak akan segan untuk melukaimu. Lagipula, kamu kesepian bukan? Siapa tahu bodyguard itu bisa menjadi temanmu.”

“Thanks to you, I have no friends.” ucapku dingin sebelum meninggalkan ruang makan dengan perut yang masih lapar.
==
end of flashback==

Aku menghela nafas. Bodyguard… Buat apa sih? Toh selama ini aku baik-baik saja. Aku masih hidup. Lagi-lagi aku menghela nafas.

“Ada apa cantik?” tanya Teddy oppa, yang selalu mendapat tugas mengantarkanku. Tidak, tidak, Teddy oppa bukan supirku—resminya sih begitu. Aku tidak punya supir. Lagian, toh aku tidak pernah kemana-mana selain ke sekolah. Teddy oppa adalah salah satu dari beberapa orang terpercaya ayahku. Ia bekerja di kantor appa, entah sebagai apa. Yang pasti appa sangat percaya pada Teddy oppa, karena seringkali ia diserahi tugas-tugas penting: mengantarkan berbagai dokumen penting ke berbagai tempat, bertemu berbagai orang di berbagai tempat, dan bahkan sesekali menerima telepon yang ditujukan untuk appa.

Teddy oppa sebenarnya sibuk, sangat sibuk. Tapi dia selalu ada untukku. Teddy oppa selalu ada setiap kali aku membutuhkannya. Selalu siap untuk mengantar dan menjemputku, selalu ada saat aku ingin menumpahkan kekesalanku, selalu ada saat aku suntuk.

“Oppa, aku tidak mau bodyguard. Kan ada oppa yang selalu membantuku.” ujarku, menjawab pertanyaannya tadi.

Teddy oppa menginjak rem karena lampu merah menyala. Kemudian ia menoleh ke belakang, tempatku duduk.

“Yeonji-a. Sebenarnya, itu adalah ideku. Karena akhir-akhir ini Oppa sangat sibuk, dan kamu butuh pengawal, cantik. Tenang saja, bodyguardmu bukan orang-orang berbadan besar yang tak punya otak. Beberapa dari mereka umurnya tidak jauh denganmu, dan-“

“Beberapa? BEBERAPA?” aku memotong perkataan Teddy oppa, dan meninggikan suaraku. Aku menatap oppa tak percaya. Dan ini adalah idenya!
How could he do this to me?!

“OPPA! YA! Kenapa oppa tega padaku???”

“Yeonji-a, ini untuk kebaikanmu. Justru karena oppa sayang padamu, makanya oppa mengusulkan bodyguard itu kepada sajangnim. Oppa akan sangat sibuk, hingga tidak lagi bisa menjagamu…”

Aku tidak mau lagi mendengar kata-kata Teddy oppa, jadi aku memutuskan untuk turun dari mobil dan berjalan kaki ke sekolah.

Setelah aku membanting pintu mobil, lampu hijau menyala. Teddy oppa berkali-kali memanggil namaku, namun tidak kuhiraukan begitu saja. Aku berlari sekuat tenaga, tanpa tahu arah yang kutuju. Yang penting aku menjauh dari pandangan Teddy oppa.

Aku menghentikan langkah setelah cukup jauh berlari. Aku menunduk, mengatur nafas sambil memegang kedua lututku yang mulai terasa lemas karena berlari.

Setelah berhasil mengatur kembali nafasku, Aku melihat ke sekelilingku. Berbagai toko berjejeran, juga terdapat beberapa gedung-gedung tinggi yang sepertinya dihuni beberapa perusahaan. Tak ada satupun bangunan yang kukenali. Wajar saja, karena aku belum pernah jalan-jalan mengelilingi kota tempat tinggalku.

Aku mulai menyesali keputusanku kabur dari Teddy oppa. Pertama, aku sama sekali tidak mengenali daerah ini, yang berarti juga aku tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh agar sampai ke sekolah. Kedua, aku lupa membawa tasku yang tertinggal di mobil. Padahal dompet dan handphone-ku berada disana. Aku menghela nafas, kemudian mengutuki diriku sendiri, “Babo!”

“Thanks God, you knew it!”

Aku menoleh ke belakang, ke arah suara yang sepertinya menanggapi ucapanku yang kutujukan untuk diriku tadi.

Orang itu, atau cowok itu, ternyata juga seorang murid SMA, yang kemungkinan umurnya sama denganku. Memakai seragam sekolah, menenteng tas dengan satu tangan, sepatu yang berlebihan untuk ukuran anak sekolah, dan memakai topi rajutan yang menutupi rambutnya. Namun poninya masih bisa terlihat, yang ternyata pirang! Rambut cowok aneh ini pirang! Seorang anak sekolah berkeliaran dengan rambut pirang! Omo! Selain itu, dia juga memasang headset di kepalanya. Setiap aksesoris tambahan selain seragam sekolah yang ia pakai terlihat mahal, branded.
Cih, orang yang suka pamer rupanya, pikirku.

Aku menatapnya dengan tatapan sinisku dan membalikkan badanku setelah meneliti penampilannya. Kurasa aku tidak perlu merespon kata-katanya.

Aku mulai melangkahkan kaki, berniat menuju sekolah. Tapi, setelah beberapa langkah aku berhenti. Aku membalikkan badan, bermaksud untuk menanyakan arah ke sekolahku kepada cowok-aneh-berambut-pirang itu, jika ia masih disana.

“Ya! Kamu ngikutin aku ya?!” entah kenapa yang keluar dari mulutku malah kata-kata ketus saat aku mendapati cowok-aneh-berambut-pirang itu berjalan tepat di belakangku dengan santainya sambil mendengarkan entah-lagu-apa dari headsetnya. Tapi Aku yakin dia masih bisa mendengarku, mengingat tadi dia mendengar gumamanku.

Cowok-aneh-berambut-pirang itu tertawa meremehkan, kemudian menatapku sambil berkata,

“Hey, babo! I don’t even know you!”

Kemudian cowok-aneh-berambut-pirang itu berjalan mendahuluiku dan meninggalkanku yang masih tidak tahu harus berjalan kemana.

Tanpa ragu aku mengikutinya dan mencoba untuk tetap berjalan di belakangnya. Sepertinya Aku tidak perlu bertanya dimana sekolahku, karena ternyata setelah kuteliti cowok-aneh-berambut-pirang itu memakai seragam sekolah yang sama denganku.

Aku melirik jam tanganku, bel masuk masih seperempat jam lagi. Pagi ini Aku memang berangkat lebih cepat, karena ayahku, yang tiba-tiba membawa topik mengenai bodyguard hingga membuatku tidak nafsu makan.

Bodyguard. BEBERAPA bodyguard.

Aku menghela nafas. Tega-teganya Teddy oppa mengusulkan itu. Kupikir itu ide bodoh ayahku. Ternyata kali ini aku salah. Orang yang sangat kupercaya dan kusayangi sudah tak mau lagi menjagaku. Jahat. Teddy oppa jahat.

Aku mulai merasakan mataku memanas. Aku menggigit bibir, mencoba menahan agar air mata ini tidak keluar.

Teddy oppa adalah satu-satunya orang yang menjagaku semenjak ibuku pergi meninggalkan kami, saat aku berumur 8 tahun. Di pemakaman, Teddy oppa terus berada disampingku dan memelukku, sementara ayahku sibuk sendiri dengan teleponnya. Bahkan di pemakaman ayahku sibuk dengan urusan bisnisnya. Sejak saat itu aku membencinya.

Ketika ibuku mulai sakit-sakitan, ayahku mulai cuek dengan urusan keluarga. Ia sering pulang larut, dan berangkat di pagi-pagi buta. Entah kenapa saat itu ibu tidak memprotes ayah yang tidak lagi peduli padanya, pada keluarga.

Saat ayah mulai sibuk dengan bisnisnya, Teddy oppa lah satu-satunya orang yang merawat ibuku. Ia seperti mengambil alih tugas ayah, yang seharusnya menjaga keluarganya. Sejak saat itu, aku menganggap Teddy oppa seperti kakakku sendiri, menggantungkan diriku padanya, percaya bahwa ia akan selalu berada di sisiku, tak akan pernah meninggalkanku.

Aku menyanyangi Teddy oppa, melebihi sayangku kepada ayah kandungku sendiri. Tapi kenapa dia tega? Kepada siapa lagi aku bisa bergantung? Aku tidak punya siapa-siapa. Tak ada saudara, ayah yang tidak bisa diharapkan, dan bahkan aku tak punya teman! Tidak satupun!

Air mataku tak dapat kubendung lagi, mengalir dengan deras di pipiku. Aku terduduk lemas, jatuh dengan suara yang cukup keras, cukup keras hingga membuat cowok-aneh-berambut-pirang itu menghentikan langkahnya dan melihat apa yang terjadi.

Aku merasakan tatapannya, yang membuatku semakin menundukkan kepala. Menyembunyikan sedihku, juga airmataku. Namun, aku yakin dia tahu aku menangis karena bahuku berguncang hebat. Pandanganku mulai mengabur, semakin lama semakin kabur. Kupikir itu karena air mata yang mengalir deras dari mataku, namun ternyata aku salah, karena sedetik kemudian pandanganku berubah menjadi hitam dan aku tidak sadarkan diri.

***
Sayup-sayup aku mendengar suara beberapa orang. Awalnya suara itu seperti bisikan-bisikan, yang kemudian terdengar semakin jelas. Aku mengamati suara-suara itu, mencoba menerka-nerka apa yang mereka bicarakan. Namun tak ada makna yang dapat kutangkap. Semakin aku mencoba mendengar suara-suara itu dalam kegelapan, semakin aku merasakan sakit di kepalaku.

Aku membuka mata, dan mendapati diriku berada di sebuah kamar yang asing bagiku. Aku juga mencium aroma ruangan yang juga sangat asing, bukan aroma ruangan di rumahku.

Aku duduk, secara tiba-tiba, hingga membuat kepalaku semakin berdenyut dan sakit.
Tempat apa ini? Dimana Aku? Apa yang terjadi? Berbagai pertanyaan muncul di benakku, namun tak satupun dapat kujawab. Aku mencoba menenangkan diri, memejamkan mata dan menarik nafas pelan, kemudian menghembuskannya perlahan.

Aku mencoba mengingat kejadian pagi ini. Ayahku berbicara mengenai bodyguard saat sarapan, Teddy oppa mengakui bahwa itu adalah usulnya, kemudian aku kabur dari Teddy oppa dan tersesat di jalan. Oh ya, aku bertemu dengan cowok-aneh-berambut-pirang yang sepertinya satu sekolah denganku, kemudian aku mengikutinya. Lalu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Kriuk

Perutku berbunyi. Aku baru ingat, pagi tadi aku tidak sempat sarapan. Gara-gara pembicaraan mengenai bodyguard. Aku melirik jam tanganku. Sudah jam makan siang. Omo! Aku bolos sekolah! Dan parahnya lagi, aku tidak tahu dimana diriku berada.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari-cari tasku. Perasaanku akan lebih tenang jika aku bersama barang yang kukenali di tempat yang asing ini.

Kamar ini rapi. Seluruh barang tertata dengan rapi. Sepatu-sepatu tersusun rapi di rak khusus, topi-topi juga disusun dengan rapi sesuai dengan jenisnya. Ada sebuah lemari baju yang berukuran cukup besar. Menurut tebakanku, orang ini korban mode, hingga membuatnya membutuhkan lemari sebesar ini untuk menyimpan baju-bajunya yang pasti hanya digunakan sekali, karena ia akan terus membeli baju dengan model-model terbaru.
Pemborosan.

Aku kembali mengedarkan pandangan, kali ini ke bagian sebelah kananku. Terdapat lemari belajar yang di atasnya terdapat laptop dan beberapa buku. Kemudian di sebelahnya terdapat lemari kaca yang berisikan berbagai macam aksesoris, seperti kalung, gelang, dan cincin. Entah siapapun yang menempati kamar ini benar-benar korban mode. Aksesoris-aksesoris itu banyak sekali, hingga membutuhkan sebuah lemari kaca yang biasanya digunakan sebagai tempat pajangan barang-barang berharga di ruang tamu. Setelah lemari berukuran super itu, sekarang lemari kaca untuk berbagai aksesoris yang terlihat mahal dan pastinya limited edition, karena tidak beredar di pasaran biasa. Aku menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.

“Sudah bangun?”

Sapaan yang tiba-tiba itu membuatku kaget, karena aku bahkan tidak mendengar suara pintu dibuka.

Cowok asing itu masuk sambil membawa semangkuk bubur di atas nampan. Sepertinya dia sendiri yang memasaknya, karena celemek masih menempel di tubuh cowok itu.

Cowok itu tersenyum, yang membuat matanya berbentuk garis melengkung, seperti mata anak anjing. Lucu. Aku suka anak anjing.

Cowok itu berjalan menuju arahku. Meletakkan nampan tersebut di meja, mengambil sebuah kursi dan duduk disampingku. Tanpa ragu cowok itu menyentuh keningku, sepertinya memastikan suhu tubuhku.

“Untung saja badanmu tidak panas. Kamu belum makan kan?” tanyanya sambil kembali tersenyum, kemudian tanpa menunggu reaksiku mengambil semangkuk bubur tadi dan mengaduknya.

“Sebaiknya kamu makan dulu. Mau kusuapin atau makan sendiri?”

Aku menggelengkan kepala, mencoba menjernihkan pikiranku.

“Aku… dimana?” dari sekian banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku, hanya pertanyaan itu yang akhirnya keluar dari mulutku.

Lagi-lagi cowok itu tersenyum. Aku suka senyumnya, manis, menenangkan.

“Maaf,” ujarnya sambil membungkuk. Dan cowok ini sopan sekali.

“Kamu pasti bingung karena berada ditempat asing. Oh ya, perkenalkan, namaku Youngbae, Dong Youngbae. Kamu ada di apartemen kami. Tadi Jiyong yang membawamu kesini, karena kamu pingsan di jalan.” Cowok yang bernama Youngbae itu kembali tersenyum, seperti ingin menenangkanku yang mungkin terlihat sangat shock karena berada di tempat yang asing saat bangun. Mekipun senyumnya sedikit menenangkan, namun aku masih merasa tidak nyaman berada disini. Aku tak pernah nyaman berada dimanapun lebih tepatnya, kecuali di kamar tidurku.

Dan barusan cowok ini menyebut sebuah nama. Jiyong. Siapa dia?

“Youngbae, dia sudah bangun?” Tanya seseorang yang langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Sangat tidak sopan.

Yang mengagetkanku bukanlah suaranya yang memecah keheningan, melainkan sosoknya yang tidak asing bagiku. Si cowok-aneh-berambut-pirang! Namun aku tidak mengeluarkan kata “kamu” dengan ekspresi kaget dan sebagainya, seperti yang biasa terjadi di film-film atau drama-drama. Aku hanya diam, dan menatapnya bingung. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi. Kemudian aku teringat sesuatu, tasku!

“Dimana tasku?” tanyaku kepada siapa saja yang bersedia menjawabnya.

“Tas? Sorry, tapi seingatku kamu tadi tidak membawa tas. Don’t you remember?” tanyanya dengan sikap tidak bersahabat yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu tadi.

Namun kali ini aku tidak kesal, tidak begitu kesal dengan sikapnya karena ada hal yang lebih penting menguasai pikiranku. Aku kembali mengingat-ingat kejadian pagi ini, kemudian saat pikiranku tiba di bagian aku kabur dari Teddy hyung, aku baru ingat tasku tertinggal dimobil.

“Aku mau pulang.” Ujarku, sambil beranjak dari kasur. Kepalaku mendadak pusing saat aku berdiri, yang membuat aku sedikit terhuyung karena keseimbanganku yang payah. Aku segera mendudukkan diri di pinggiran kasur, dan memijit-mijit kepalaku, berharap rasa pusingnya segera hilang.

“Gwaencanayo?” Tanya entah siapa-aku masih belum bisa menghafal suara mereka. Seseorang menyentuhku-mungkin maksudnya baik, menolongku atau apa. Tapi aku tidak suka disentuh, apalagi oleh orang asing, yang membuatku refleks menepiskan tangannya yang menyentuh lenganku.

“Oh, maaf.” Ujar cowok itu. Aku membuka mata dan melihat Youngbae dengan tatapannya yang penuh rasa bersalah-ternyata dia yang baru saja menanyaiku dan menyentuhku.

“Tidak apa-apa.” Ujarku. Aku heran kenapa aku tidak bisa marah dengan orang ini.

“Sebaiknya kamu makan dulu, supaya tidak pusing. Sepertinya kamu sama sekali belum makan.”

“Tidak usah, aku hanya ingin segera pulang. Terimakasih.” Ujarku sambil kembali mencoba berdiri. Untung kali ini kepalaku tidak terlalu pusing.

Cowok-aneh-berambut-pirang itu masih berdiri disana-didepan pintu yang terbuka, yang otomatis menghalangi jalanku. Dia berdiri diam disana, dengan tangannya yang dilipatkan ke dadanya dan tatapannya yang mengamatiku, memandangku tajam. Tatapannya membuatku tidak sanggup beradu pandang dengannya, dan semakin membuatku tidak nyaman disini. Aku, berdiri disana, diam, namun dalam hati sangat berharap dia segera menyingkir sehingga aku bisa keluar dari tempat asing ini

“Jiyong, kau menghalangi jalannya.” Ujar Youngbae pelan. Namun cowok-aneh-berambut-pirang itu sama sekali tidak bergerak, melainkan tetap menatapku dan kemudian berkata,

“Let’s go. We’ll give you a ride.” Ujarnya datar.
Orang ini benar-benar aneh, pikirku.

***
Ternyata suara bising itu berasal dari ruang tengah-aku menyebutnya begitu. Ruang itu sepertinya tempat dimana mereka berkumpul dan bersantai dari rutinitas. Disana terdapat televisi dengan ukuran cukup besar, kemudian sebuah sofa panjang diletakkan beberapa meter di depannya, dimana tiga orang duduk dan tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan.

Saat salah satu dari mereka melihat si cowok-aneh-berambut-pirang, orang berkantung mata itu langsung berdiri dengan penuh semangat, senyumnya merekah.
Kenapa semua orang tersenyum, tetapi cowok-aneh-berambut-pirang ini tidak?

“Kita berangkat hyung?” Tanya cowok-berkantung-mata itu. Aku punya julukan yang lebih bagus untuknya, panda-eyes.

Dua orang lainnya ikut berdiri, dan tersenyum padaku sambil sedikit membungkukkan badan. Akupun ikut membungkukkan badanku, membalas mereka, namun tanpa senyum.

Aku ikut saja saat mereka mengiringku keluar apartemen, masuk elevator, kemudian benar-benar keluar dari apartemen tersebut-yang membuatku sedikit lega karena sudah keluar dari tempat asing yang seakan-akan mengurungku itu, meskipun diluar sini juga terasa asing bagiku.

Beberapa saat kemudian sebuah van hitam berhenti tepat didepan kami, kemudian cowok-aneh-berambut-pirang membuka pintu belakang yang langsung dimasuki oleh si panda-eyes tadi. Lalu cowok-aneh-berambut-pirang memberi isyarat agar aku masuk, kemudian disusul oleh satu orang lagi yang matanya benar-benar sipit hingga hampir membentuk garis lurus, yang langsung tersenyum padaku saat kami beradu pandang. Senyumnya otomatis membuatku juga ingin membalas senyumnya, namun otot-otot mulutku terlalu kaku karena sudah lama tidak tersenyum, yang membuatku yakin aku tidak terlihat seperti tersenyum. Si cowok-aneh-berambut-pirang tadi langsung memposisikan dirinya di bangku depan, sementara cowok yang terakhir-yang paling tinggi dengan tampang paling dingin-muncul dengan sepeda motornya beberapa saat kemudian dan memimpin perjalanan. Aku tidak menyadari ternyata dia tidak bersama kami saat keluar dari bangunan apartemen tadi, entah sejak kapan dia menghilang.

Setelah beberapa saat, aku baru menyadari ketidakhadiran cowok lain, yang bernama Youngbae. Untuk beberapa saat itu, tak ada yang memulai percakapan. Semua diam. Aku, tentu saja bukan tipe orang yang selalu memulai percakapan, dan lebih suka keadaannya seperti ini. Aku hanya nyaman mengobrol dengan Teddy oppa, yang sebentar lagi juga akan meninggalkanku. Aku menghela nafas berat karena memikirkan hal itu.

“Gwaencanayo?” tiba-tiba aku mendengar suara Youngbae, memecahkan keheningan sesaat. Ternyata dialah sang supir.

Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaannya. Namun, cowok di sebelah kananku-yang matanya seperti garis lurus-memandangku hingga membuatku risih.

“Jinja? Tapi ekspresi wajahmu berkata lain.” Ujarnya setelah mengamati wajahku. Aku menghela nafas.

“Dan sudah berkali-kali kamu menghela nafas seperti itu.” Ujar si panda-eyes. Aku kaget mengetahui betapa telitinya mereka memperhatikanku, yang hanya semakin membuatku risih. Aku hanya diam, tidak merespon perhatian mereka. Lagipula, mungkin saja itu bukan perhatian, melainkan tak lebih dari rasa penasaran.

Perjalanan dari apartemen mereka ke rumah ayahku berjarak 15 menit. Selama perjalanan aku hanya diam, meskipun dua orang yang duduk di samping kanan-kiriku terus mencoba mengajakku berbicara. Setelah beberapa menit aku tidak menjawab satupun pertanyaan yang mereka lontar, ataupun merespon lelucon-lelucon aneh mereka, akhirnya mereka menyerah dan diam, hingga tak ada satupun orang yang bersuara selama sisa perjalanan.

Setelah tiba di depan pintu rumah, aku mendadak ragu untuk masuk. Bagaimana jika ada Teddy oppa di dalam? Bagaiman jika dia marah karena aku tiba-tiba kabur? Tapi itu tidak mungkin, mengingat Teddy oppa sudah tidak peduli lagi denganku. Aku menghela napas dalam, melirik cowok-cowok yang masih berada di dalam van dan cowok yang duduk menunggu di motornya—entah kenapa mereka masih disana.

Aku membuka pintu, yang langsung terhubung ke ruang tamu. Terdengar suara-suara dari dalam, yang membuatku mematung di tempatku, dengan pintu yang setengah terbuka. Aku mencoba mendengar percakapan mereka sebelum masuk. Itu seperti suara Teddy oppa dan suara ayahku, namun ada suara seorang perempuan yang tidak kukenali.
Siapa dia?
----------------------------------------------

Hoho.
gimana?
aneh ya?
well, comments are welcome~

----edited----
hehe, sori lupa memperkenalkan diri.
Annyeonghasseyo, na neun ezy imnida. nama lengkapnya Azizah Al Aziz (kadang di komen namanya itu soalnya, hehe)
seperti yg udah dibilang (baca: tulis) amel sebelumnya, ada dua writer disini, yaitu amel en aq. So, seluruh isi fanfics ini adalah tanggung jawabq *apa sih?*
hoho

Selamat menikmati~
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

4 Response to "My Bodyguards"

  1. obaji_imnida Says:
    December 17, 2009 at 5:27 PM

    ameeellll....
    gue ikutan maen doonnkk...

    lee ri yoo..
    pasangannya TOP..
    kalo gak bisa ama TOP, ama om Jinu yak...
    ya mel..
    amel baek deh..
    ^^

  2. obaji_imnida Says:
    December 17, 2009 at 5:39 PM

    itu cewek calon istrinya teddy oppa yak?
    ato malah jangan2 pacar bokap lo?
    hadooohh...
    hayu neng.. dilanjut...

  3. Unknown Says:
    December 17, 2009 at 6:42 PM

    hoho
    ini yg nulis ezy...
    sori, lupa memperkenalkan diri.
    pasangan ama TOP?
    hm, agak gak rela sih...
    hahahaha
    sori, klo TOP udah ada
    mianhada~
    tp alur cerita bisa ebrubah kapan saja
    hehe
    soalnya gk ada kerangka nya juga
    ama om jinu aja yak?

    anyway, thx udah baca en komen^^

  4. marsha Says:
    January 14, 2011 at 10:54 PM

    aww..its great dear..i love it ^^

Post a Comment

abis baca kudu komen! kkkk ^^.
paling ga bilang "baca" biar Amel tau kalo tulisannya ada yg baca, thx <3